BIARKAN CINTA ITU JADI
RAHASIAKU
Oleh : arifin Suparyadi
“Ah, cantiknya dia. Andai
aku memilikinya”,gumamku ketika membayangkan Ayuna saat ia sedang melintas di depanku. “Arif,
Arif,,, hey Arif”, panggilan itu tiba – tiba membuyarkan lamunanku. Kini di hadapanku
berdiri seorang laki-laki. Parasnya ancur,
dengan senyuman
lebar yang menghiasi bibirnya. Bau dari mulutnya sangat menusuk hidungku dandanannya biasa saja dan menggunakan seragam putih
abu.
“Lutfi”, jawabku yang kaget ternyata Lutfi sudah berada di hadapanku. “Ngelamun aja. Kamu ini tugasnya, tinggal dikasih ke guru biar dinilai. Bawa pena
tidak ? ”, kata Lutfi sambil menyerahkan beberapa lembar kertas untuk diberikan ke guru. “Hehe…”, senyumku. “Sudah ku tebak, pasti gak bawa pena. Dasar siswa jaman sekarang HP selalu dibawa tapi pena tidak bawa.”. Arif, Arif jadi siswa kok malas bawa pena¸katanya mau jadi jendral ? pastinya harus selalu bawa pena. Kalau lagi dalam keadaan genting gimana”, jawab Lutfi sambil mengambil pena dari ranselnya. Terlihat ia sedikit kesal padaku. “Kan ada sekretaris jendral yang selalu ada buat jendral ”, candaku padanya. “Ya, walaupun ada sekretaris gak selamanya sekertaris berada di dekatmu Rif. Kalau sekertarisnya gak ada gimana. Siapa yang nyediain pena buatmu nanti ”, jawab Lutfi balik. “Kalau Ayuna gak ada, Barulah hati ini merindukannya kalau sekertarisnya gak ada ya tidak mengapa.”, gumamku dalam hati. “Ok, lainkali saya bawa pena.” Oh ya, jangan lupa ingatkan saya rapat pramuka di Aula atas lepas Jum’at nanti ya. Ada pulsa kan? Apa perlu diisiin nih”, tanyaku seraya bercanda sambil memegang dompet. “Wee, emang saya cowok kurang modal apa. Kan ada SMS gratisan. Oke deh, kalau gitu aku berangkat ke kantor guru dulu.“. “Oke, semoga nilainya bagus. Insya Allah pasti bagus nilainnya amin”, kataku menyemangati Lutfi. Setelah dari riangan guru aku kembali merenung, mengapa aku hanya bisa memandanginya, tapi tak sanggup untuk menyapa ataupun berbicara dengannya. Padahal, “Aku hanya ingin bilang, kalau aku….”. Kreek, kurobek kembali secarik kertas dari buku itu. “Waduh, ternyata susah ya menulis kata-kata cinta untuk ku ucapkan. Padahal dulu waktu menggombalin cewek yang tidak kucintai begitu mudah rasanya. Apa karena aku sudah lama nggak pacaran ya”, gumamku dalam hati mencoba menulis kata-kata kembali. Ya, aku ingin mengungkapkan perasaanku pada Ayuna. Sebuah rangkaian kata yang menyatakan isi hatiku padanya. Ayuna wanita yang kukagumi. Orangnya simple, pendiam dan bersahabat. Ia juga seorang wanita yang selalu menjaga aurat. Setiap kemana-mana dia selalu berpakaian tertutup, Ia juga wanita yang selalu bersemangat dan mengayomi teman – teman yang berputus asa. Ia pintar, baik, dan taat ibadah. Sholatnya nggak pernah ditinggal. Shaum sunnah ia jaga. Bahkan lebih rajin dibandingkan diriku. Hm, ia wanita yang sempurna. Dan karena hal itu aku mengaguminya. Hubungan kami entahlah seperti apa, pernah menjadi kekasih namun berpisah. Rasanya ingin mengulang kembali dan menguatkan tali silaturahmi dengannya.
“Lutfi”, jawabku yang kaget ternyata Lutfi sudah berada di hadapanku. “Ngelamun aja. Kamu ini tugasnya, tinggal dikasih ke guru biar dinilai. Bawa pena
tidak ? ”, kata Lutfi sambil menyerahkan beberapa lembar kertas untuk diberikan ke guru. “Hehe…”, senyumku. “Sudah ku tebak, pasti gak bawa pena. Dasar siswa jaman sekarang HP selalu dibawa tapi pena tidak bawa.”. Arif, Arif jadi siswa kok malas bawa pena¸katanya mau jadi jendral ? pastinya harus selalu bawa pena. Kalau lagi dalam keadaan genting gimana”, jawab Lutfi sambil mengambil pena dari ranselnya. Terlihat ia sedikit kesal padaku. “Kan ada sekretaris jendral yang selalu ada buat jendral ”, candaku padanya. “Ya, walaupun ada sekretaris gak selamanya sekertaris berada di dekatmu Rif. Kalau sekertarisnya gak ada gimana. Siapa yang nyediain pena buatmu nanti ”, jawab Lutfi balik. “Kalau Ayuna gak ada, Barulah hati ini merindukannya kalau sekertarisnya gak ada ya tidak mengapa.”, gumamku dalam hati. “Ok, lainkali saya bawa pena.” Oh ya, jangan lupa ingatkan saya rapat pramuka di Aula atas lepas Jum’at nanti ya. Ada pulsa kan? Apa perlu diisiin nih”, tanyaku seraya bercanda sambil memegang dompet. “Wee, emang saya cowok kurang modal apa. Kan ada SMS gratisan. Oke deh, kalau gitu aku berangkat ke kantor guru dulu.“. “Oke, semoga nilainya bagus. Insya Allah pasti bagus nilainnya amin”, kataku menyemangati Lutfi. Setelah dari riangan guru aku kembali merenung, mengapa aku hanya bisa memandanginya, tapi tak sanggup untuk menyapa ataupun berbicara dengannya. Padahal, “Aku hanya ingin bilang, kalau aku….”. Kreek, kurobek kembali secarik kertas dari buku itu. “Waduh, ternyata susah ya menulis kata-kata cinta untuk ku ucapkan. Padahal dulu waktu menggombalin cewek yang tidak kucintai begitu mudah rasanya. Apa karena aku sudah lama nggak pacaran ya”, gumamku dalam hati mencoba menulis kata-kata kembali. Ya, aku ingin mengungkapkan perasaanku pada Ayuna. Sebuah rangkaian kata yang menyatakan isi hatiku padanya. Ayuna wanita yang kukagumi. Orangnya simple, pendiam dan bersahabat. Ia juga seorang wanita yang selalu menjaga aurat. Setiap kemana-mana dia selalu berpakaian tertutup, Ia juga wanita yang selalu bersemangat dan mengayomi teman – teman yang berputus asa. Ia pintar, baik, dan taat ibadah. Sholatnya nggak pernah ditinggal. Shaum sunnah ia jaga. Bahkan lebih rajin dibandingkan diriku. Hm, ia wanita yang sempurna. Dan karena hal itu aku mengaguminya. Hubungan kami entahlah seperti apa, pernah menjadi kekasih namun berpisah. Rasanya ingin mengulang kembali dan menguatkan tali silaturahmi dengannya.
Pelajaran telah usai, kelaspun di bubarkan
dan seperti biasa sayang pulang naik angkutan umum. Sore itu aku menemui kakak
perempuanku, walaupun tidak ada ikatan darah tapi aku menganggapnya keluargaku.
Saat dirumahnya dia sedang berbicara dengan temannya “Hei
Fajar, katanya Andini bakal nikah tahun ini loh”, kata seorang wanita pada kakak
perempuanku
yang saat itu aku baru saja duduk. “Benarkah, Barakallohu.
Alhamdulillah, siapa lelaki yang berhasil
mendapatkan hatinya Ti ?”, Tanya Fajar. “Azwar. Ketua LDK Fakultas Teknik.
Subhanalloh ya. Mereka dipertemukan di usia
muda dan masih berstatus mahasiswa. Untung
aja mas Azwar sudah bekerja”, jawab Atika.
“Wah, indahnya. Semoga kita cepat nyusul ya.
Ya, mungkin setelah bekerja. Hehe”, tawa Fajar. “Amin. Hm, Fajar, seperti apa pria
impianmu yang bakal menjadi imammu kelak?”, tanya Atika pada Fajar. Saat itu aku mendengar
baik – baik pembicaraan mereka. “Ya, Allah kutahu ini dosa. Tapi ini adalah kesempatanku
untuk mencari tahu laki-laki yang seperti apa yang disukai para wanita soleh”, gumamku sambil mencoba memasang pendengaranku
baik – baik. “Seperti apa ya. Mungkin
lelaki yang sederhana, tegas, manis,
pintar, cerdas, bertanggung jawab dan taat beribadah. Dan satu lagi pintar memasak kali
ya, jadi bisa mengajariku memasak. Hehe”, jawab Fajar. “Pintar memasak, tegas. Aku bisa
memenuhinya”, pikirku setelah mendengar
kriteria pria impian Fajar, apa Ayuna juga? Bisa jadi hehe. “Ayuna, tunggu aku. Aku pasti
bisa jadi pria impianmu”. Sejak
saat itu, aku belajar memasak. Berbagai masakan
ku coba. Dan untuk menguji rasanya, teman –
teman bola dan club motor kujadikan kelinci
percobaan. Dan hasilnya luar biasa, 4 dari 5 temanku semuanya sakit gara – gara masakanku. Entah apa yang salah,
apa perut mereka yang tidak tahu masakan
enak, atau masakanku yang tidak enak tapi
lama kelamaan akhirnya masakanku bisa mereka katakan enak. Lalu di organisasi aku mencoba memimpin secara tegas.
Setiap anggota yang kurang bertanggung
jawab aku berikan teguran, lalu kuayomi
mereka semua, kuberi semangat agar mereka
bisa melaksanakan tugasnya. Aku rasa itu
sudah bisa menunjukkan ketegasanku pada Ayuna. Dan aku
selalu menyapanya walau masih lewat BBM… “Assalammu’alaikum na”, BBMku pada Ayuna pada
suatu malam. Tidak berapa lama HPku pun berdering.
- Wa’alaikumsalam.
- lagi ngapain na? (kedokku berusaha mencari celah)
- lagi diam saja.
- oh.. kirain lagi belajar, berarti gak sibuk ya.
- iya.
- Wa’alaikumsalam.
- lagi ngapain na? (kedokku berusaha mencari celah)
- lagi diam saja.
- oh.. kirain lagi belajar, berarti gak sibuk ya.
- iya.
(Waduh
jawabannya dingin, ahh... mungkin dia sibuk.)
- ya sudah selamat malam na, Aku mencoba menunggu
balasan dari Ayuna. Lama sekali sampai akhirnya aku
tertidur. Esoknya selepas Subuh, aku
mencoba memeriksa BBMku, berharap ada balasan
dari Ayuna. Ternyata nihil. Padahal aku
berharap ia membalas kembali.
Hari
ini hari minggu, biasanya pagi hari aku menyempatkan menyapanya lalu pergi
untuk olah raga. Tetapi setelah olah raga tak kunjung ada balasan. “Kemanakah dirimu Ayuna? Padahal aku hanya ingin tahu kabarmu saja. Itu sudah
membuatku tenang”, gumamku. Aku berjalan menyusuri jalanan. Aku biarkan kakiku melangkah entah kemana ia akan membawaku. Saat itu pikiranku begitu gundah. Lalu
saya dikagetkan dengan temanku yang entah datang dari mana makhluk ini
tiba-tiba dihadapanku. “Ayo kita pergi kemasjid, ada ceramah.” “Ok, tunggu
saya”
sambil berjalan berbagai
perasaan aku rasakan. Sampai aku
tersadar suara azan menyadarkanku. Akupun sampai
di mesjid untuk melaksanakan
sholat. Sholatku kali ini begitu berbeda. Lalu
aku berdo’a,
hingga tak terasa temanku mengerjaiku
dengan tempelan kertas yang ditempel dipunggungku “ LAGI KHUSYUK MASALAH JODOH.”
Namun tempelan itu lepas dari punggungku. Selesai berdo’a aku coba duduk sebentar.
Saat itu sedang berlangsung ceramah yang di bawakan oleh seorang ustad muda. Judulnya
“Mencintai atau di cintai”. Kudengarkan baik – baik apa yang disampaikan sang ustad.
“Para pemuda yang di
rahmati Allah, pasti diantara kita pernah merasakan yang namanya
jatuh cinta. Cinta yang akhirnya
memiliki rasa ingin mendapatkan cinta itu seutuhnya. Ingin melakukan segala cara untuk mendapatkannya. Sampai raga ini berjanji kalau akan menyesal apabila tidak mendapatkannya”. Aku pun mengangguk. Saat itu aku tersadar dengan apa yang telah kurasakan. “Tidak ada yang salah dengan yang
namanya cinta. Cinta itu hakikat setiap
manusia. Tidak ada larangan untuk
mencintai. Tapi pernahkah kita sadar kalau saat kita merasakan cinta pada seseorang, kita melupakan cinta
kita pada Allah”. “Cintaku pada Allah”, aku
tersentak mendengar hal itu. “Ya, cinta kita pada Allah. Saat kita menginginkan
orang tersebut, pernahkah terlintas di pikiran
kita kapan kita mengaharapkan cinta dari
Allah? Cinta dari Allah yang selalu
memberikan nikmat pada
kita? Cinta dari-Nya yang selalu menjaga kita? Cinta dari-Nya yang selalu ada untuk kita?
Pernahkah terlintas di pikiran saudara – saudara” Aku tersadar. Di saat aku mengharapkan Ayuna, aku lupa cintaku pada Allah. Bukankah Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya, tetapi hamba-Nya yang meninggalkan ia karena sesuatu. Kenapa aku harus takut kehilangan Ayuna, kalau Allah sudah menjanjikan jodoh yang terbaik untukku. Kenapa aku harus berusaha mendapatkannya, kalau belum tentu ia akan memiliki perasaan yang sama padaku. Bisa saja karena aku terlalu berharap, hati ini akan sakit menerima kenyataan yang ada. “Astagfirulloh. Ya Allah, terimakasih Engkau telah mengingatkan hamba Ya Allah. Duniaku tak lebih hanya sebuah tempat singgah. Kenapa aku harus khawatir kalau segala urusan telah Engkau tetapkan untukku Ya Allah. Engkau Yang Maha Mengetahui, Tiada Tuhan selain Engkau Ya Allah”, gumamku dalam hati. Aku melamun dan berpikir. Selama ini aku berada di jalur yang salah. Aku terlalu canggung dan takut kehilangan Ayuna, padahal aku tidak pernah tahu isi hati Ayuna terhadapku. Allah telah menjaga hamba-Nya. Kini pikiranku mulai cerah. Aku sadar, dan menyerahkan segala urusanku pada Allah. Kini aku percaya Allah akan memberikan yang terbaik untukku. Hari Seninpun tiba. Kini aku bertemu kembali dengan Ayuna yang selalu terlihat cantik. Tapi dengan perasaan berbeda. Tak lagi diriku berusaha mengungkapkan cinta padanya. “Hai, ayo kawan – kawan upacara mau dimulai”, seru Edward padaku yang sedang duduk melihat teman-temanku berbicara. “Baik Do. Bentar lagi saya kesana”, jawabku seraya membuka ransel untuk mengambil topi. “Cepat ya teman. Jangan lama. mereka sudah pada siap”, kata Edward yang lalu pergi meninggalkanku. Nampak Ayuna sedang berdiri, aku pun kini menatapnya kembali dari jauh. Ayuna…Engkau wanita yang sempurna Semoga Allah mempertemukanmu dengan lelaki yang sempurna pula terimakasih karena pernah membuatku jatuh cinta. Terimakasih karena telah memotivasi diriku Tetapi Allah lebih sayang padaku sehingga cinta ini tidak akan kuberikan pada siapapun kecuali Allah. Suatu saat, bila Allah mempertemukanku denganmu sebagai jodoh Akan kutuntun dirimu untuk mencintai Allah bersama – sama Tapi bila tidak, berbahagialah Allah akan memberikan yang terbaik untukmu cinta yang pernah kurasakan padamu biarlah ini jadi rahasiaku Bersemangatlah Ayuna Jadilah wanita yang solehah dan tangguh, serta gapailah cita-citamu gumamku. Setelah upacara selesai, hari-hariku seperti biasa kepada Ayuna. namun dengan perasaan yang lebih lega karena ada alasan untukku berjuang meraih kesuksesan agar aku bisa membhagiakan orang tua, keluarga dan pasanganku nanti.
kita? Cinta dari-Nya yang selalu menjaga kita? Cinta dari-Nya yang selalu ada untuk kita?
Pernahkah terlintas di pikiran saudara – saudara” Aku tersadar. Di saat aku mengharapkan Ayuna, aku lupa cintaku pada Allah. Bukankah Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya, tetapi hamba-Nya yang meninggalkan ia karena sesuatu. Kenapa aku harus takut kehilangan Ayuna, kalau Allah sudah menjanjikan jodoh yang terbaik untukku. Kenapa aku harus berusaha mendapatkannya, kalau belum tentu ia akan memiliki perasaan yang sama padaku. Bisa saja karena aku terlalu berharap, hati ini akan sakit menerima kenyataan yang ada. “Astagfirulloh. Ya Allah, terimakasih Engkau telah mengingatkan hamba Ya Allah. Duniaku tak lebih hanya sebuah tempat singgah. Kenapa aku harus khawatir kalau segala urusan telah Engkau tetapkan untukku Ya Allah. Engkau Yang Maha Mengetahui, Tiada Tuhan selain Engkau Ya Allah”, gumamku dalam hati. Aku melamun dan berpikir. Selama ini aku berada di jalur yang salah. Aku terlalu canggung dan takut kehilangan Ayuna, padahal aku tidak pernah tahu isi hati Ayuna terhadapku. Allah telah menjaga hamba-Nya. Kini pikiranku mulai cerah. Aku sadar, dan menyerahkan segala urusanku pada Allah. Kini aku percaya Allah akan memberikan yang terbaik untukku. Hari Seninpun tiba. Kini aku bertemu kembali dengan Ayuna yang selalu terlihat cantik. Tapi dengan perasaan berbeda. Tak lagi diriku berusaha mengungkapkan cinta padanya. “Hai, ayo kawan – kawan upacara mau dimulai”, seru Edward padaku yang sedang duduk melihat teman-temanku berbicara. “Baik Do. Bentar lagi saya kesana”, jawabku seraya membuka ransel untuk mengambil topi. “Cepat ya teman. Jangan lama. mereka sudah pada siap”, kata Edward yang lalu pergi meninggalkanku. Nampak Ayuna sedang berdiri, aku pun kini menatapnya kembali dari jauh. Ayuna…Engkau wanita yang sempurna Semoga Allah mempertemukanmu dengan lelaki yang sempurna pula terimakasih karena pernah membuatku jatuh cinta. Terimakasih karena telah memotivasi diriku Tetapi Allah lebih sayang padaku sehingga cinta ini tidak akan kuberikan pada siapapun kecuali Allah. Suatu saat, bila Allah mempertemukanku denganmu sebagai jodoh Akan kutuntun dirimu untuk mencintai Allah bersama – sama Tapi bila tidak, berbahagialah Allah akan memberikan yang terbaik untukmu cinta yang pernah kurasakan padamu biarlah ini jadi rahasiaku Bersemangatlah Ayuna Jadilah wanita yang solehah dan tangguh, serta gapailah cita-citamu gumamku. Setelah upacara selesai, hari-hariku seperti biasa kepada Ayuna. namun dengan perasaan yang lebih lega karena ada alasan untukku berjuang meraih kesuksesan agar aku bisa membhagiakan orang tua, keluarga dan pasanganku nanti.
TAMAT