Kamis, 05 September 2013

pandangan homoseksual menurut agama budha

Dalam agama Budha, terdapat tiga permata yang dapat dijadikan dalam sandaran. Yakni yang pertama adalah Buddha merupakan guru agung yang menunjukkan jalan untuk menuju kebebasan. Yang kedua, Dharma dalam hal ini memiliki arti semua ajaran yang berasal dari realisasi Buddha. Dan yang ketiga itu sendiri adalah Sangha yang memiliki arti komunitas-komunitas yang didalamnya merupakan komunitas rohaniwan dan rohaniwati yang sering kita sebut sebagai Bhiksu dan Bhiksuni. 

Menurut ajaran agama Buddha sendiri memberikan penjelasan tentang sifat manusia yang cenderung menggunakan akal sehat (pikiran) untuk dapat membandingkan sesuatu. Misalnya; aku-kamu, siang-malam, pagi-sore, dan lain-lain. Jadi dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa dalam diri manusia itu sendiri harus mengakui bahwa setiap manusia itu memiliki keterbatasan logika dan bahasa realita. Jika didalam diri manusia hanya dapat memahami dunia dan diri kita secara dualistik, maka manusia itu sendiri tidak akan dapat melihat realita yang sesungguhnya dan akan gagal dalam memahami dunia sebagaimana adanya (Willis, 2008: 1). 

Masih banyak sekali di dalam kehidupan bermasyarakat masih memandang sebelah mata tentang kaum homoseksual itu sendiri dan diperparah lagi bahwa kaum homoseksual itu sendiri yang hingga sekarang ini masih ada di berbagai belahan dunia ini dianggap sebagai umat Luth. Namun berbeda dengan pandangan agama Buddha tentang kaum homoseksual yang bervariasi. Seperti yang dijelaskan pada seminar tanggal 10-22 November 2008 di UGM disebutkan bahwa di dalam Indian Buddhism awal terdapat pandangan bahwa hubungan seks antara kaum homoseksual tidak dibenarkan sebagaimana hubungan seksual antara kaum heteroseksual. Hal ini juga terdapat dalam pandangan Tibet Buddhism tentang yang dianggap salah dalam ajaran Buddha dikarenakan adanya hubungan anal seks. Akan tetapi berbeda dengan Japan Buddhism yang berpandangan tentang hubungan seksual yang menjadi bagian dari ajaran yang menggunakan mudra-mudra sebagai simbol untuk pernyataan cinta hingga hubungan seksual. 

Terus sebenarnya yang harus kita lihat adalah bagaimana pandangan ajaran Buddha terhadap gender itu sendiri. Di dalam ajaran Buddha sifat atau potensi kebuddaan dimiliki oleh setiap makhluk hidup dan pencapaiannya tidak memandang perbedaan jenis kelamin. Yang terpenting disini adalah tujuan ajaran Buddha dalam memperjuangkan hak gender adalah pembebasan (Willis, 2008:10). Selain pembebasan dalam memperjuangkan hak gender, ajaran Buddha sendiri juga mendukung adanya gerakan kesetaraan gender. 
Selain melihat dari padangan ajaran Buddha kita sebaiknya juga melihatnya dari pendapat beberapa sarjana yang telah meneliti hal tersebut. Menurut beberapa sarjana melihat bahwa sang Buddha merupakan makhluk hidup dalam budaya tertentu dengan dipengaruhi oleh kebudayaan dimana ia dibesarkan. Pencapaian Buddha sangat luar biasa dan melebihi para dewa dan manusia, namun yang masih dipertanyakan disini mengapa sang Budha masih mengkhawatirkan atas kritikan-kritikan dari masyarakat di masanya? Dari semua hal yang telah dibahas diatas bahwa ajaran Buddha mendukung adanya gerakan kesetaraan gender. Tetapi dalam kenyataannya kesetaraan gender belum terjadi didalam kehidupan sehari-hari para biksuni yang masih dibawah otoritas para biksu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

cerpen terakhir

BIARKAN CINTA ITU JADI RAHASIAKU Oleh : arifin Suparyadi “Ah, cantiknya dia. Andai aku memilikinya”,gumamku ketika membayangkan Ayun...